Tuesday, February 23, 2010

Ayah Yang Tak Kukenal


Semilir angin meniup2 lembut pipiku, matahari bahkan bersinar begitu terang hingga suasana hatiku cerah ceria. Kuhela nafas panjangku setiap kali angin bertiup, sudah lama kulupakan kerinduanku pada ayahku. Ayah yang tak pernah kukenal sejak aku dilahirkan, ayah yang hanya dapat kubayangkan kasih dan sayangnya ketika aku memandangi ayah teman2ku. Aku hanya bisa memandangi fotonya yang sudah usang. Sewaktu kecil ibuku sering berkata kalau ayahku sedang bekerja di luar kota makanya ayah tidak bisa pulang ke rumah. Aku menanyakan keberadaan ayah setiap kali ada pembagian raport di sekolah. Aku ingin ayah yang mengambil raportku di sekolah, seperti teman2ku. Tapi itu tak pernah terjadi, ayah tak pernah kembali.
Aku semakin beranjak besar, kupingku seringkali merasa panas dengan omongan tetangga yang beredar seputar ayahku. Kata mereka ayahku sudah mati, kata mereka ayahku telah menikah lagi kata mereka ayahku masuk penjara, kata mereka ayahku menjadi seorang dukun sakti. Lalu, sebenarnya siapa yang harus kupercaya?
Aku bertanya2, kenapa ayah tak sekalipun pernah menjengukku, melihatku, anaknya. Aku sering sekali membayangkan ketika aku sedang dalam perjalanan pulang sekolah, ayah menghampiriku, mengajakku untuk pulang bersamanya, tapi itu tak pernah terjadi. Bahkan kadang aku berpikir, bagaimana kalau ada seorang lelaki menghampiriku dan mengaku sebagai ayahku  lalu membawaku pergi? Aku tidak pernah mengenal wajahnya, aku hanya pernah melihatnya di sebuah foto usang yang gambarnya hampir pudar, itupun tak sengaja kutemukan di gudang.
Aku tak pernah mendapatkan apa2 darinya kecuali nama, Rara Putri, kata ibu itu nama yang diberikan ayahku ketika aku masih di dalam kandungan. Hanya nama pikirku, aku butuh lebih dari sekedar nama, meskipun nama itu akan selalu kusebut dan kugunakan sebagai identitas. Aku bahkan tidak menyukai nama pemeberian ayahku itu, entah kenapa ia memberikan nama itu padaku, nama yang aneh, apalagi kabarnya nama itu ada kaitanyya dengan kisah ratu pantai selatan. Aku tak pernah tahu apa maksud ayahku memberikan nama itu padaku. Aku sering menggunakan nama panggilan lain, aku hanya menggunakan nama itu untuk kepentingan yang bersifat administratif saja.
Aku masih ingat benar saat aku masih duduk di SD, semua teman2 bercerita tentang ayahnya, sementara aku hanya bisa diam, tak tahu ayahku siapa dan seperti apa, ditambah lagi ibuku tidak pernah menceritakan tentang ayah. Ibu tidak pernah memeberitahuku ayah sosok yang seperti apa. Wajar, jika akhirnya aku tidak pernah tahu makhluk bernama “ayah”. Ketika teman2ku bertanya dimana ayahku, aku selalu menjawab bahwa ayahku sedang berada di luar kota, sama seperti kata ibuku. Dan ketika mereka menanyakan kapan ayahku pulang, aku hanya bisa berkata tidak tahu.
Tapi itu dulu, waktu aku masih kecil dan bodoh. Dulu, aku sangat ingin bertemu dengannya, bertanya2 bagaimana rupanya, mirip seperti aku atau tidak, dan semua tanda tanya tentangnya ingin segera aku ketahui jawabannya. Menjelang duduk di SMP aku berjanji bahwa aku tidak ingin bertemu dengan siapapun itu, yang disebut2 sebagai ayahku, aku tidak pernah peduli, penantianku terlalu panjang kurasa, aku bosan menunggu. Toh, aku bisa hidup bahagia tanpa kehadiran seorang ayah, aku tetap bisa menjalani hidupku, dan aku sadar bahwa aku tak pernah sekalipun merindukannya, aku tak rindu karena kami tak pernah bertemu. Bagaimana mungkin merindukan seseorang yang tidak kukenal???
Bahkan ketika suatu hari aku dipertemukan dengan seorang laki2 yang katanya ayahku, aku bersikap datar bahkan dingin. Aku hanya seperti bertemu dengan orang baru lalu berkenalan dengannya, tidak lebih. Bahkan setelah pertemuan itu aku tidak merasakan apa2, aku bahkan tak memikirkannya sama sekali. Aku hanya bergumam dalam hati, “oh… Laki2 ini rupanya ayahku…” Setelah itu sudah, tidak ada apa2, aku bahkan tidak menanyakan mengapa ia melakukan ini semua padaku, pada ibuku, pada kami, aku hanya diam saja.
Aku berkata pada diriku, rasanya aku tidak butuh sosok ayah, aku cukup bahagia hidup bersama ibu saja. Malah aku pernah berpikir bahwa mungkin saja jika ayah bersama kami, hidupku tidak akan sebahagia sekarang, bisa saja ia merusak kebahagiaan yag kami punya. Ah sudahlah pikirku, aku keletihan memikirkannya. Mugkin dan sangat mungkin, saat ini saja ia  bisa melepaskan tanggung jawabnya terhadap ibu dan aku, bukan tidak mungkin ia juga menjadi benalu jika harus hidup bersama kami. Sekali waktu aku membencinya tapi di waktu yang lain aku biasa saja. Aku merasa benci ketika dia kuanggap ayah tapi tak sekalipun pernah menjadi ayah untukku, dan aku bersikap biasa ketika aku menganggapnya bukan sebagai siapapun, hanya orang lain yang aku pikir tidak penting sama sekali. Aku hanya meminjam namanya saja sebagai nama kolom ayah yang harus kuisi untuk berbagai keperluan, tidak lebih.
Hingga hari ini, ibu dan aku hanya hidup berdua, ibu tidak pernah menikah lagi karena ibu tidak ingin aku punya ayah tiri, terlebih lagi ibu menganggap bahwa ayahku adalah satu2nya ayah bagiku meskipun tidak ada bersama kami. Aku tidak pernah menghalang2i ibu untuk menikah lagi, tapi ibu tidak pernah memikirkan hal itu. Ibu hanya ingin berjuang untukku katanya. Ibuku sering bilang kalau semua yang dilakukannya hanyalah untukku…
            Kebahagiannya sudah pernah ia peroleh puluhan tahun yang lalu, saat ibuku masih tinggal di bawah atap orang tuanya, bersama saudara-saudaranya, memunguti kasih meluap yang karena tak cukup tertampung hingga harus tumpah. Pertemuan dengan ayahku juga menjadi satu kebahagiaan besar katanya, meskipun cuma sebentar, kata ibu itu sudah lebih dari cukup, setidaknya ibu pernah merasakannya. Dan kata ibu, akulah yang menjadi kebahagiaannya saat ini, satu-satunya bahkan.
Aku tidak pernah tahu kenapa ibu terlihat begitu menikmati hidupnya yang aku pikir tidak mudah, aku pernah berpikir apakah ibu tidak ingin seperti nenek dan kakek yang mengarungi hidup bersama sampai tua, bisa berkumpul dengan anak-anak yang banyak, tidak cuma satu orang seperti aku sekarang ini. Semua orang memiliki kebahagiaannya sendiri-sendiri katanya. Dan kebahagiaan bukanlah terletak pada apa yang kita peroleh tapi terletak pada suasananya, penyikapan atas apa yang kita peroleh, apapun itu bisa menjadi sebuah kebahagiaan untuk ibuku meskipun kebanyakan orang berkata bahwa apa yang menimpa ibuku merupakan sebuah duka yang dalam, ditinggalkan oleh suaminya dalam ketidakjelasan. Mungkin bukan tidak jelas, tapi ibu tidak mau memberitahukan pada orang-orang termasuk aku alasan ayah meniggalkan kami, entah selamanya atau tidak. Yang jelas, ayah tidak bersama kami sampai saat ini usiaku mulai menginjak 20 tahun. Waktu yang cukup lama bagi seorang ayah untuk meninggalkan anak dan istrinya yang entah dia cintai atau tidak.
Apapun menjadi kebahagiaan jika ibuku yang menerimanya, aku tidak tahu jika terjadi pada orang lain. Aku tidak pernah sekalipun melihat ibuku muram, ia hanya tersenyum dan tersenyum ketika tidak mendapati sesuatu sesuai dengan kehendaknya, termasuk kepergian ayah. Apa ibu menyembunyikan air matanya? Tapi dimana? Aku tidak pernah berhasil menemukannya padahal selama ini akulah yang hidup bersama ibuku. Bersamanya, aku jadi tidak megenal arti kesedihan dan kehilangan tapi aku takut kalau suatu hari aku kehilangan. Aku sadar kalau suatu hari aku akan hidup bersama orang lain, sama seperti ibuku dulu, mengikuti ayahku dan tak lagi hidup bersama keluarga yang membesarkan dan jelas-jelas mencintainya. Ibu lebih memilih hidup bersama orang yang dikenalnya sangat sebentar jika dibandingkan dengan keluarganya. Ibu memutuskan untuk merasakan kebahagiaan yang banyak dilihatnya terjadi pada orang lain dan ia ingin merasakannya juga. Dan akhirnya, tak lama setelah pernikahan dan ibu mengandungku, ayah pergi entah kemana. Ayah tak meninggalkan apapun bersama kami kecuali rumah kontrakan yang sudah ia lunasi selama satu tahun sejak pernikahannya dengan ibu. Ibuku tak pernah mengeluh, bahkan ketika keluarga besarnya meminta ibu untuk kembali ke tengah-tengah mereka, ibu menolaknya. Ibu bilang, ibu sudah memutuskan sesuatu dan ibu harus mempertanggungjawabkannya. Ibuku memilih untuk hidup terpisah dengan keluarga besarnya dan merawatku seorang diri. Sebulan sekali, kadang 2 bulan sekali, kami mengunjungi keluarga besar ibuku lalu pulang kembali ke rumah kami setelahnya.
Ibu menggunakan keahliannya untuk menghidupiku, ibu sangat pandai memasak, bahkan ibu menjadi yang paling pandai di tengah-tengah keluarganya. Ibu sangat sibuk dan berperan ganda untukku, menjadi ayah sekaligus menjadi ibu untukku. Ia tak kenal siang dan malam, bahkan kini ibu bisa memetik hasil jerih payah dan kesabarannya selama bertahun-tahun. Aku masih ingat dulu ketika aku masih berumur lima tahun,  aku sering dibawa ibu berkeliling dengan sepedanya untuk menjajakan makanan. Dan kalau hari pasar ibuku berjualan di pasar, 3x dalam seminggu. Dulu aku masih tidak mengerti, aku hanya dibawa kemanapun ibu menjajakan dagangannya.  Kalau ingat masa-masa itu, aku tentu menjadi sedih melihat ibuku. Ibuku hanya seorang gadis lulusan SMU dan 2 tahun setelah kelulusannya dilamar oleh seorang laki-laki yang baru dikenalnya. Usia yang sangat muda untuk menikah pikirku, terlebih lagi ditinggalkan oleh suaminya selamanya. Laki-laki berpendidikan itu meninggalkan ibu tanpa alasan, mungkin selama ia menempuh pendidikannya ia tak sempat belajar apa yang namanya peran dan tanggung jawab. Laki-laki itu kabarnya bergelar master ekonomi di usia yang sangat muda, 23 tahun kalau tidak salah dan wajar kalau ia tidak tahu apa namanya tanggung jawab karena kepalanya telah dipenuhi dengan teori-teori ekonomi yang hanya memikirkan keuntungan semata. Dan dia berhasil memperoleh keuntungan saat  merebut hati dan menikahi ibuku. Sayangnya sang master yang kupikir pintar ternyata bodoh, ia bodoh karena meninggalkan aku dan ibuku, aku tidak peduli kalau menurut teori-teori yang dipelajarinya kami bukanlah sesuatu yang menguntungkan tapi menurutku ia kehilangan kebahagiaan yang tidak pernah akan terganti meskipun ia mengulanginya sekali lagi. Bisa saja, di tempat yang jauh, dia menikah lagi dan memiliki anak yang sangat manis tapi tetap saja rasanya tidak akan sama. Aku pikir seumur hidup ia akan dihantui perasaan yang tidak enak karena telah meinggalkan kami, entah disadari atau tidak.
Aku tidak pernah ingin menuntutnya, karena kupikir ia tak lagi berpikir sebagaimana seorang ayah dan suami pada umumnya. Ia hanya mengejar apa yang ia mau pikirku. Entah apa yang dicarinya di dunia ini aku pun tidak tahu. Kebahagiaan ibu ada dalam genggamannya dan ia menghilang dan pergi begitu saja. Aku hanya ingin bertanya satu alasan saja kenapa ia meninggalkan kami. Waktu kecil mungkin aku sangat sering menanyakannya pada ibu karena aku tidak mengerti apa-apa, karena aku tidak tahu kalau mungkin saja ibu bersedih kalau aku menanyakan laki-laki yang meninggalkannya. Ketika aku mulai besar dan sadar kalau ibuku tersakiti dengan keadaan ini, aku berhenti menanyakan dimana ayahku, aku berjanji pada diriku untuk tidak pernah menanyakannya lagi karena aku pun tidak tahu apakah ibuku tahu atau tidak alasan ayah meninggalkan kami. Kalupun ibu tahu, aku yakin bahwa tidak memberitahuku adalah sikap terbijak yang harus ia ambil.