Tuesday, October 27, 2009

Bukan Bohong

Aku terjatuh lagi dan lagi, entah sudah yang keberapa kalinya dalam perjalananku. Aku menyunggingkan senyum palsu yang kuulang, kuperlihatkan pada dunia di sekelilingku, semua meneriakiku dengan sebutan pembohong. Pohon bilang aku berbohong, langit bilang aku berbohong, kupu-kupu pun berkata aku sedang berbohong. Tidak kataku, ini bukan sebuah kebohongan, aku sedang berusaha megangkat diriku sendiri yang terperosok ke jurang yang kelam, aku tidak pernah mengatakan akalau aku tidak terperosok, aku hanya ingin mengatakan pada diriku sendiri kalau aku akan baik2 saja, dan aku bisa kembali naik ke atas dengan kedua tangan dan kakiku ini…

Friday, October 23, 2009

Tanda Tanya


Apa kata mereka tentangku?
Tiada yang bicara
Tiada yang menjawab
Bintang hanya berkelip
Bulan hanya mengintip dengan sebagian kecil tubuhnya
Langit hanya diam
Awan beranjak pergi
Mentari menyengatku
Dan ombak, menghempasku
Hingga aku terdampar di sini
Sendiri, dan dalam tanda tanya…

Thursday, October 22, 2009

Kucing (lagi)


Kata2nya begitu tajam dan langsung menembus jantungku, aku seketika tertohok dan hampir mati karenanya. Aku menangis menumpahkan air mata duka karena habis sudah upaya menghalaunya. Aku hanya bagaikan seekor kucing yang berhadapan dengan macan, kucing yang tidak bisa apa2, kucing kecil bodoh yang ingin tinggal di hutan yang penuh tantangan. Dan kucing kecil itu ternyata salah, ia memasuki dunia yang salah. Kucing kecil yang hanya bisa berlenggak lenggok dengan keempat kakinya.
“Wahai kucing kecil yang bodoh, apa yang kau lakukan di sini? Lihatlah dirimu, kau hanya menjilati tubuhmu sendiri dan mengibas2kan ekormu sepanjang waktu. Duniamu bukan di sini, kau bahkan hanya seekor kucing kecil yg merepotkan.”
Mungkin benar, tidak ada hal yang bisa kulakukan selain merepotkan orang lain, bahkan mungkin keberadaanku sama sekali tidak pernah diinginkan oleh orang-orang di sekitarku, bahkan mungkin enggan melihatku. Ah, sudahlah… Aku semakin tidak mengerti apa arti semua ini. Meskipun aku tau betul bahwa tidak ada satu makhluk pun yang sempurna di dunia ini, tapi dengan kata2nya, seolah hanya akulah manusia yang tidak sempurna di dunia ini, akulah sang manusia tidak berguna, akulah sang manusia bodoh yang hanya menunggu tercabutnya nyawa karena telah habis waktuku di dunia. Tak ada artinya aku menumpahkan air mata, tak seorangpun yang mampu melihatnya bahkan ketika air mata itu jelas telah mengguyur tubuhku sampai basah, tak ada yg melihatnya sebagai satu duka. Hanya terlihat sebagai satu keadaan yang sepertinya sudah menjadi ketentuan. Aku hanya menerima olok-olok dan cercaan orang lain atas diriku dan bodohnya aku selalu membiarkan itu terjadi dengan alasan tidak ingin menyakiti perasaan orang lain dan mengorbankan perasaanku sendiri. Lantas, kenapa orang lain begitu mudahnya meluluhlantakkan perasaan dan hatiku di saat aku begitu berhati-hati dengan ucapan dan sikapku yg aku khawatirkan menyinggung dan menyakiti orang lain…

Wednesday, October 21, 2009

Arahan


Awan terjatuh langit terbelah
Mengejutkan pandangan yang menunduk menembus bumi
Mataku bertingkah liar
Berlari kesana dan kemari
Aku menangkap sesuatu
Sebuah senyuman di balik awan
Sebuah tawa yang disembunyikan langit
Pikirku berjalan mengganti arah
Ingin mengejar dan meraih
Kuperintah langkah berhenti
Diam sejenak dan berjalan lagi
Bergegas dalam ayunan pasti
Aku datang menjemput mimpi…

Tuesday, October 20, 2009

Biarkan Aku


Sama seperti sebuah motor tua yang tak berlampu, hanya aku dan Tuhanku yang tahu kemana aku akan berbelok. Tak ada yang pernah tahu bahkan orang yang mengklaim dirinya paling dekat denganku sekalipun. Perempuan yang sangat mudah berubah ini hanya mengayun langkah kemana kakinya mau. Perempuan ini selalu tuli dengan hingar bingar manusia-manusia yang seringkali tidak memahami diri mereka sendiri dan meneriakkan suara lantang terhadap orang lain, termasuk aku. Aku tuli, kataku dalam hati… Tapi aku tidak buta, aku tetap melihat hiruk pikuk itu dengan kedua mataku yang terkadang kabur dan samar memadang kenyataan yang terjadi. Aku tidak suka dan tidak pernah suka digugah, aku bisa menemukan jalanku sendiri, dari sini, dari tempatku merenung dan berpikir tentang hidup. Abaikan saja semua langkah dan gerakan yang kulakukan, tak usah ikuti gerak geriknya karena mata siapapun akan keletihan mengikuti liuk-liuknya yang tak berirama, liukan bebas dengan gerak lambat tapi kadang melesat cepat bagai kilat lalu menghilang dan tak terlihat. Dan aku tak pernah menghendaki jika mata-mata itu memandangku curiga, aku tak pernah ingin tampak dan kalaupun tampak, biarkan saja, anggap saja tak tampak. Jangan pernah memintaku untuk bersembunyi dan enyah menghilang karena tidak menyukai keberadaan dan ketidakjelasanku, inilah aku, yang terpaksa diketahui, entah kebetulan atau tidak…

Monday, October 19, 2009

Sampai Akhir Waktu


Seorang teman pernah berkata: “Ibaratnya, dia itu adalah seorang anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa”. Kalau dipikir2, apa yang dikatakan oleh seorang teman mungkin benar adanya. Ah, aku benar2 bingung menghadapinya, aku tidak tahu apa yang menjadi keinginannya selama ini. Pernah, satu atau dua kali ia menyampaikannya padaku, tapi saat itu aku benar2 tidak sedang menyadarinya. Aku sedang berada di dunia yang lain saat itu. Kini, ketika aku menghampirinya dalam dunia yang aku sadari, hanya kebisuan yang aku dapatkan, sungguh membingungkan, tak pernah aku mengerti sampai hari ini. Jawaban inikah yang benar2 aku nantikan selama ini pun aku tidak tahu. Aku hanya tersesat dalam kebingungan yang aku ciptakan sendiri, beribu2 hari lamanya. Ingin rasanya menyudahinya tapi bukanlah suatu hal yang mudah untukku. Terlalu berat bagi seseorang seperti aku untuk mengakhiri sesuatu yang kupikir tak akan berakhir tanpa andil Tuhanku. Aku sendiri? Tidak mungkin rasanya, bahkan ketika tak ada satu makhluk pun di bumi yang mendukungku, aku masih tetap bisa bertahan dengan keadaan ini. Sebenarnya, aku tidak pernah merasa nyaman seperti ini tapi aku juga tak ingin bermigrasi ke keadaan lain yang aku sendiri pun tak mampu untuk menebaknya. Kupikir berbagai kemungkinan di depan mampu menghancurkan aku dalam seketika. Dan aku tidak pernah mampu membayangkannya dalam benakku, sekalipun. Kebisuannya menjadi derita sekaligus bahagia untukku, dengan begitu, aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya bermain dengan pikiranku sendiri. Sulit sekali rasanya menemukan satu saja isyarat yang dapat menghentikan semua ini. Atau aku hentikan saja pikiranku yang selalu berlari kian kemari agar rasanya tetap sama, tidak berubah karena apapun, bahkan dalam hitungan waktu yang tidak sebentar. Tak akan pernah kuakhiri sampai ujung waktu yang telah ditentukan untukku.

Friday, October 16, 2009

Bukan Kucing Biasa

Boleh percaya atau tidak, aku masih menyimpannya sampai hari ini. Tentu saja di tempat yang tak seorang pun tahu kecuali Tuhanku. Aku sering tersenyum sendiri karenanya, bukan milikku tapi bukan milik siapa2 juga saat ini, jadi aku menyimpannya sampai ada orang yang mengambilnya suatu hari nanti. Entah mengapa menyimpannya menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untukku. Aku tidak pernah mau membuangnya, inginnya aku berjanji tetap menyimpannya sampai pemiliknya datang dan mengambilnya untuk selamanya. Walaupun aku tahu jika saat itu datang akan menjadi saat yang tak terlupakan untukku, mungkin aku akan menangis sejadi2nya, seharian penuh. Mungkin terlihat seperti anak kecil yang kucing kesayangannya dirampas, upz bukan dirampas tapi diambil. Bayangkan, kucing itu sudah bersamanya bertahun2, ia tidak sengaja menemukannya saat sedang asyik bermain seorang diri. Kucing itu selalu saja menghampiri saat ia sedang seorang diri. Sampai akhirnya, sang anak membawanya pulang, merawatnya, memeliharanya dan membawanya kemanapun ia pergi. Tak sedetik waktu dilalui tanpa sang kucing. Hingga akhirnya suatu hari seorang anak perempuan menghampirinya dan mengatakan bahwa kucing itu adalah miliknya yang telah lama hilang dan ia cari kesana kemari. Tentu saja, walaupun berat ia harus menyerahkannya kepada pemiliknya. Aku sudah sering membayangkan hal itu, sedih rasanya tapi mau bagaimana lagi. Ingin rasanya aku bertanya, tapi tak mungkin apa yang kusimpan saat ini memberitahukan jawabannya. Ia hanya terdiam di sudut sana, diam, diam, dan diam. Jika saja ia bisa bicara apakah ia akan memilihku untuk jadi pemiliknya? Sayang, ia tak mungkin berkata. Mungkin pemiliknyalah yang akan menyampaikannya padaku. Tapi, tentu saja pemiliknya akan berkata kalau dialah yang pantas memilikinya. Oh, hancurnya aku. Bagaimana kalau aku tidak mengizinkan pemiliknya untuk mengambilnya? Ah, rasanya tidak mungkin, kurasa seluruh dunia akan mencemoohku dengan sebutan yang mungkin pantas untukku tapi mengiris hati dan menyayat jantung. Lalu, apa yang harusnya aku lakukan? Membiarkannya pergi menemukan pemiliknya saja? Sudahlah, ada pertemuan berarti ada perpisahan. Sepertinya sejak saat ini aku harus mulai belajar melupakannya sedikit demi sedikit, supaya jika saatnya tiba aku telah siap dan terbiasa tanpanya coz life must go on and that’s the way things are…

Thursday, October 15, 2009

Prajurit Dalam Tanda Tanya

Keliru aku tiba pada suatu tempat, pertempuran itu sudah tak ada lagi, perang itu sudah reda. Bahkan puing reruntuhan bangunan yg hancur akibat adu senjata tak lagi ada. Sudah bersih dan tak berbekas. Lalu, apa yg akan aku lakukan di tempat ini? Bukankah aku telah bersiap2 berperang dengan baju besi dan pedang yg sudah aku sandang sejak mencium tangan ibuku dan meminta izinnya untuk berperang? Sesaat aku terpaku memandangi sekelilingku, aku mendapati berita dari seorang kawan kalau pertempuran tadi telah dimenangkan oleh pasukan kami, aku menyunggingkan senyumku sebagai tanda terima kabar gembira. Tapi aku masih menyesali ketidakikutsertaanku pada pertempuran itu, aku bagaikan prajurit yg bergelar pahlawan tanpa pernah ikut berperang. Bahkan pedangku ini tak bersimbah darah, kulitku tanpa goresan, dan aku tidak mengeluarkan keringat sedikitpun… Aku terlambat, aku hadir pada saat yang bagiku tidak tepat, saat semuanya sudah berakhir. Aku menyesal, aku menyesali diriku sendiri… Inginnya aku ikut andil pada peperangan itu tapi nyatanya aku tidak bisa… Kini aku hanya bisa berjalan menghampiri prajurit lain yg tengah beristrahat setelah peperangan panjang. Mereka tampak keletihan, sementara aku, datang dengan wajah yg masih segar dan aroma wangi yg masih semerbak, pakaianku rapi dan tidak lusuh. Para prajurit telah bersiap untuk menghampiri keluarga mereka yg telah menanti kepulangan mereka, dan aku masih tak tau harus berbuat apa, apa aku harus ikut kembali ke negeriku dan bertingkah seolah aku ikut berperang dan memperoleh kemenangan? Mengotori pakaianku ini agar tampak lusuh dan berusaha membuat tubuhku menjadi bau anyir darah bercampur keringat perjuangan. Ah… aku tidak ingin pulang, aku malu pada diriku sendiri, tapi apa yg akan aku lakukan jika aku tidak ikut pulang? Apa aku harus menunggu sampai pada peperangan yg akan datang di tempat ini? Tidak… Itu perbuatan bodoh… Atau aku mencari medan peperangan lain saja? Tapi… aku bertempur untuk siapa? Siapa yg akan kubela? Siapa yg kuperjuangkan? Aku tidak tahu...

Wednesday, October 14, 2009

Gadis Sunyi

Ia adalah gadis sunyi
Aku menatapnya dari sini
Air matanya menjadi telaga yang kini ia arungi seorang diri
Ia berlayar seperti tanpa tepian
Mengarungi genangan duka sampai terdampar
Ia membisu meski tak bisu
Gurat-gurat wajahnya menyemburatkan kepedihan yang dalam
Rintihan dukanya merambat melalui desiran angin
Menghampiri telinga-telinga yang telah penuh sesak dengan suara-suara kacau dunia
Mengabarkan dukanya
Mengulang waktu, ia mengumpulkan tenaga
Membanjiri telaga duka yang telah mengering karena waktu
Ia tak mampu berjanji untuk berhenti dari duka ini
Karena ia adalah gadis sunyi...

Tuesday, October 13, 2009

My World

Menikmati sendiri dalam ruang pikirku, dalam ruang yang di dalamnya aku bebas, yang di dalamnya aku mampu menjadi lebih dari sekedar seorang aku, seorang aku yang jauh dari kata sempurna. Aku bisa meraih sesuatu yang bahkan bukan takdirku, sejenak meninggalkan kenyataan yang tidak sesederhana kelihatannya. Aku, aku dan hanya Tuhanku yang tahu karena tak seluruhnya aku tumpahkan pada manusia-manusia yang mengelilingiku. Satu kukabarkan dan sepuluh kusimpan, melekatkannya pada pikirku, aku kumpulkan hingga menjadi satu kumpulan perjalanan hidup yang terkemas berbeda dengan apa yang pernah terucap lisan. Bukan berdusta, hanya tak membuka seluruhnya pada siapapun...