Sunday, December 27, 2009

You're Only Lonely By JD Souther





When the world is ready to fall
On your little shoulders 
And when you're feeling lonely and small
You need somebody there to hold you
You can call out my name
When you're only lonely
Now, don't you ever be ashamed
You're only lonely

When you need somebody aroud
On the nights that try you
(remember) i was there when you were a queenH
And i'll be the last one there beside you
So you can call out my name
When you're only lonely
Now, don't you ever be ashamed
You're only lonely


When the world is ready to fall
On your little shoulders 
And when you're feeling lonely and small
You need somebody there to hold you
So don't you ever be ashamed
You're only lonely
Ah, you can call out my name
When you're only lonely

When you're only lonely

Ah, it's no crime darling
We've got lots of time

Ah, there's nothing wrong with you
Darling, i get lonely too

So if you need me
All you gotta do is call me
You're only lonely

Diam




Oh God, apa ini???!! Aku terdiam karena dunia mendiamkanku tanpa alasan yang jelas. Salahkah aku jika kemudian bersangka-sangka atas kelakuan dunia terhadapku? Tentu, ini menjadi sebuah kewajaran pikirku… Aku ada dalam ketiadaan dalam pandangan mata dunia yang silau dengan desas desus keunggulan yang khawatir tersingkirkan. Aku tidak pernah sedikitpun berpikir untuk mengusik dunia di sekitarku. Jika memang tidak berkenan dengan keberadaanku, ya sudah, aku akan mengalah dalam diam, aku akan diam di sudut ruangku, biarkan saja sendiri tanpa dunia-dunia yang penuh dengan dinamika...

Monday, December 14, 2009

Pulau Narajas




Aku masih duduk di sini, sendiri, seperti waktu-waktu sebelumnya. Aku memandangi orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku dengan tatapan tak bernyawa. Semua orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku menghela nafas panjangku, kuambil lagi secarik kertas dari dalam ranselku. Ada namaku di sana, ada sederet angka di sana, aku memandanginya lekat-lekat, terus dan terus kupandangi. Ini merupakan bukti yang harus aku tunjukkan saat aku pergi nanti. Kalau kuingat-ingat, perjuanganku untuk memperoleh secarik kertas itu tidaklah mudah, aku butuh waktu bertahun-tahun untuk memperolehnya, melewati serangkaian proses yang cukp panjang, tidak hanya membosankan tapi juga melelahkan. Kini, saat aku telah memperolehnya, ternyata tidak cukup mudah untuk menunjukkan secarik kertas itu sebagai suatu bukti, sebagai sesuatu yang dapat membuatku meninggalkan tempat ini, karena ini adalah sebuah persinggahan yang sejatinya hanya untuk waktu yang sangat sebentar disinggahi. Tapi tidak dengan aku, aku terlalu lama singgah di tempat ini. Aku malah tampak seperti penghuni tempat persinggahan ini. Aku telah melewatkan ratusan malam di tempat ini. Bukan waktu yang sebentar, bahkan terkadang aku ingin lari dan pergi saja dari tempat ini, tak mengapa kalau aku tidak jadi pergi ke Pulau Narajas yang diimpikan banyak orang selama ini, tak apa pikirku, karena dulu pun, ketika aku mulai mengurus keberangkatanku menuju pulau itu, bukan semata-mata keinginanku, keluargakulah yang mendorongku untuk pergi ke pulau itu. Kalau saja saudara perempuanku yang memintanya mungkin aku bisa menolaknya dengan mudah, tapi tidak dengan ibuku, perempuan yang berjuang mengorbankan seluruh hidup untuk anak-anaknya termasuk aku, aku tidak bisa menolaknya. Apalagi, diantara tiga bersaudara, hanya aku si bungsu yang mendapat kesempatan untuk pergi ke pulau itu, bahkan ketika aku pernah meminta untuk tidak kembali ke rumah setelah tiba di Pulau Narajas nanti, ibu mengabulkannya meski dengan sedikit berat hati. Aku mengatakan kalau aku ingin melanjutkan perjalanan menuju pulau lainnya, yaitu Pulau Semtar. Tapi Pulau Semtar tak menjadi prioritasku saat ini, aku hanya ingin tiba di Pulau Narajas dulu saja…
“Hei, apa yang sedang kau lakukan di sini?” seorang perempuan yang tampak lebih muda dariku datang menghampiri.
“Aku sedang menunggu pesawatku.” Aku menjawab sambil menoleh ke arah perempuan itu
“Sudah berapa lama kau menunggu di sini?”
“Sudah cukup lama, aku tidak ingat lagi kapan tepatnya”
“Bukankah kau adalah gadis yang mengurus keperluan perjalanan menuju Pulau Narajas beberapa waktu yang lalu?”
“Ya, kau tahu aku?”
“Tidak, aku tidak tahu. Aku hanya pernah tidak sengaja melihatmu ketika aku hendak menuju Pulau Narajas, sama sepertimu.”
Aku mengernyitkan dahiku… “Kalau memang kau juga mengurus keberangkatan menuju Pulau Narajas bersama denganku waktu itu, mengapa kau datang dari arah yang berlawanan denganku?”
“Aku telah kembali dari Pulau Narajas dan kini aku sedang mengurus keberangkatanku menuju ke Pulau Semtar”
Aku tercengang mendengar ucapan perempuan itu. Kami bahkan dalam waktu yang berdekatan mengurus keberangkatan menuju Pulau Narajas tapi kini ia telah kembali dan akan menuju Pulau Semtar, pulau yang juga mungkin akan menjadi tujuanku berikutnya setelah Pulau Narajas. Sementara aku? Aku masih sama di tempatku yang dulu, aku terjebak di bandara ini. Aku bisa saja keluar pikirku tapi itu tidak mungkin, yang paling memungkinkan adalah berharap bahwa pesawatku akan segera datang dan membawaku pergi menuju Pulau Narajas.
“Hei, apa kau sedang melamun nona?”
“Ah, tidak. Aku hanya… Ya, hanya sedang berpikir.” aku menjawab sembari menutupi keterkejutanku karena aku sedang bermain dengan pikiranku sendiri saat itu.
“Aku permisi nona, aku hanya tidak sengaja melewati tempat ini untuk mengambil tiket yang sudah kupesan. Ruang tungguku ada di sebelah sana, kau juga akan menunggu di sana jika suatu hari kau akan menuju Pulau Semtar.”
Perempuan itu berlalu dari hadapanku dan menuju ruang tunggunya. Ah, ia bahkan telah menuju Pulau Semtar saat ini padahal ia sepertinya setahu lebih muda dariku. Ya, aku dapat melihatnya.
“Hei, kita belum berkenalan nona. Aku Dendranamiazy Lanela.” Perempuan itu menyebutkan namanya sembari mengulurkan tangannya di hadapanku
“Aku Fatitabia Adoficansy” jawabku sambil menjabat tangan perempuan itu.
“Aku pergi dulu nona Adoficansy, mungkin pesawatku sebentar lagi datang. Semoga pesawatmu juga segera datang.”
Perempuan itu berlalu dari hadapanku, aku tersenyum sembari melambaikan tanganku. Ah, sedih sekali rasanya kalau aku harus membandingkan diriku dengan dirinya. Bahkan Pulau Narajaspun belum kuinjak sampai hari ini. Aku sengaja tidak bertanya kepada perempuan itu bagaimana rasanya berada di Pulau Narajas. Ah, tidak perlu pikirku. Aku bahkan bisa melihatnya dengan mudah pada layar yang ada di sekitar ruang tunggu ini. Ya, aku bisa melihatnya seperti sedang menonton televisi di rumahku sendiri. Aku bisa melihat pakaian yang dikenakan di pulau itu, pakaian khusus yang diwajibkan bagi siapapun yang berada di sana. Ah, merepotkan sekali pikirku. pakaian menjuntai dengan harga yang tidak murah terpaksa harus dikenakan, entah apa maksudnya aku pun tak tahu, entah siapa yang menjadi pendahulu dan menyepakati pakaian seperti itu yang harus dikenakan. Tak ada bedanya laki-laki ataupun perempuan, semua dikenai aturan yang sama. Bisa saja setiap orang memiliki gaya berpakaian mereka masing-masing dari tempat asal, tapi di Pulau Narajas, semua disamakan. Belum lagi ditambah dengan upacara yang memakan waktu hampir dua pertiga dari waktu yang diberikan selama di Pulau Narajas, entahlah apa itu upacara penyambutan atau upacara penghormatan aku pun tak tahu. Aku bahkan tidak menyukai itu semua tapi entah mengapa aku ingin sekali ke pulai itu. Entahlah, aku merasa aku sudah lebih dari separuh jalan menuju pulau itu, dan pasti akan sangat disayangkan kalau aku sampai mengurungkan niat untuk menuju pulau itu.
Aku kembali beranjak dari tempat dudukku, aku mulai bosan, aku ingin sedikit berjalan-jalan di sekitar bandara ini untuk melepas kejenuhanku. Aku mulai berjalan dan melihat dunia sekelilingku. Ah, aku sudah hafal benar dengan tempat ini. Bahkan mungkin jika aku diminta untuk mengelilinginya dengan mata tertutup dan tanpa tongkat, aku akan mampu melakukannya. Aku melepaskan pandanganku sembari menghela nafas panjang, hatiku seperti berdenting menghitung waktu, samapai kapan aku akan berada di tempat persinggahan ini? Kenapa singgah menjadi sesuatu yang sangat lama bagiku? Mungkin aku harus bersabar lagi dan lagi…
Lamunanku tiba-tiba saja buyar, ponselku berdering rupanya. ah, ibuku yang memanggil.
“Ya, ibu. Ini aku puterimu.”
“Apa kabarmu puteriku?”
“Aku baik ibu, ibu sendiri bagaimana?”
“Ibu juga baik.”
“Ada apa tiba-tiba ibu meneleponku?”
“Ah, tidak. Aku hanya ingin menanyakan keadaanmu puteriku”
            “Oh…”
            Aku seidikit lega saat ibu tidak mempertanyakan keberadaanku, ia tidak tahu kalau aku masih ada di tempat yang sama karena pesawat yang akan membawaku belum juga tiba. Tapi tidak kemudian…
            “Puteriku, bagaimana perjalananmu? Kapan tepatnya kau akan tiba di Pulau Narajas?”
            Aku seketika terdiam. Aku menitikkan air mataku, aku menarik nafas lebih panjang agar ibuku tidak tahu kalau aku sedang menangis di sini…
            “Aku tidak tahu ibu…”
            “Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Bukankah kau memegang jadwal penerbangan pada tiket yang ada padamu?”
            “Tidak ibu. Aku benar-benar tidak tahu. Segalanya dapat dengan mudah berubah. Dan itu di luar kekuasaanku. Aku bahkan telah bosan berada di tempat yang sama beratus-ratus malam lamanya. Kalau aku boleh meminta, aku ingin pulang ibu. Aku ingin kembali ke rumah, tempat aku merasa hidup tenang tanpa gundah”
            Ibuku hanya terdiam mendengar kata-kataku…
            “Ibu, aku sedang dalam kondisi tidak enak hati dan tidak enak pikiran di tempat yang begitu membosankan ini. Dengan ibu menanyakan hal seperti ini padaku, ibu telah menambah pikiran di kepalaku, kepalaku seperti akan pecah.”
            “Tidak puteriku, ibu tidak bermaksud seperti itu. Jangan terlalu kau pikirkan kata-kata ibu tentang Pulau Narajas.”
            “Tapi ibu, kau telah menanyakannya padaku. Aku tidak bisa menganggap seolah-olah kata-kata ibu tidak pernah ada, sudah terlanjur ibu, aku tidak bisa.”
            “Dengarkan ibu puteriku, aku tidak pernah ingin membebanimu dengan pikiran yang bertambah-tambah. Ibu mungkin tidak pernah tahu kalau bebanmu terlalu berat di sana, ibu tidak pernah pergi ke Pulau Narajas puteriku. Bahkan diantara ketiga puteri yang kumiliki, hanya kaulah yang akan berangkat menuju pulau itu.”
            “Tapi kau telah mengatakannya ibu…”
            “Sudah puteriku, sudahlah Fatitabia Adoficansy…”
            Aku terdiam dan mengakhiri percakapanku dengan ibuku. Aku kembali menghela nafas panjangku. Aku semakin merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Mungkin memang ibu tidak bermaksud membebaniku dengan mempertanyakan perjalananku menuju Pulau Narajas yang tak kunjung usai. Wajar kalau ibuku mempertanyakannya, sangat wajar. Ibuku hanya ingin mengetahui kabarku, keadaanku, dan karena aku sedang menempuh perjalanan menuju Pulau Narajas maka ibuku bertanya sudah sampai diaman perjalananku dan kapan aku akan tiba di pulau itu. Tidak ada yang salah, dan kau tidak salah ibu. Mungkin aku yang terlalu sensitif ketika disinggung mengenai Pulau Narajas, pulau yang tak kunjung aku pijak sampai hari ini…
            Aku melangkah menuju ruang tunggu, kembali menatap tempat yang sudah kuhuni dalam waktu yang tidak sebentar, ratusan malam kuhabiskan di tempat itu, tempat yang kupikir nyaman dan kini telah membuatku bosan karena telah terlalu lama berada di dalamnya.
Dalam kekosongan tatapan, mataku menangkap sesuatu di papan pengumuman elektronik yang ada di hadapanku. Ah, aku mendapat pesan rupanya. Pesan yang disampaikan seorang teman yang juga menuju Pulau Narajas dan kini ia sedang berada di tempat transit yang pertama.
“Hei, Fatitabia Adoficansy! Mengapa kau masih berdiam diri di tempat yang sama? Lihat aku, Ondramartofo Kardoza, aku telah sampai pada tempat transit yang pertama. Apa kau merasa nyaman berlama-lama di tempat itu? Ayo, cepat kau susul aku!”
Aku benar-benar kaget mendapatkan pesan dalam bentuk video dari seorang teman. Perasaanku bercampur saat itu. Mungkin bagi orang lain apa yang dilakukan Kardoza dalah sesuatu yang dapat membangkitkan semangat untuk segera pergi meuju Pulau Narajas, tapi tidak bagiku. Aku bagai seorang yang hampir-hampir tidak kuat berdiri dengan kaki kecilku dan tiba-tiba dilempar batu yang tepat mengenai punggungku, aku limbung, keseimbangan tubuhku tak lagi terjaga. Aku jelas tidak suka dengan apa yang dilakukan Kardoza di hadapan banyak orang. Aku tidak tahu niat Kardoza yang sebenarnya, apakah ingin menyemangatiku atau memang ingin mempermalukanku di seluruh bandara ini. Yang jelas, aku semakin merasa terpuruk dalam penantian panjang yang melelahkan ini. Aku membenci Kardoza! Aku benci!
Aku berlari meninggalkan ruang tunggu, dadaku terasa begitu sesak. Di luar kulihat hujan turun deras, aku tidak peduli, aku menerjang hujan dan berlari. Mungkin aku seperti orang gila karena saat semua orang berdiam diri dan meneduh di dalam ruangan, aku malah keluar. Biar pikirku, mereka bukan aku, mereka tidak tahu apa yang aku rasakan, biarkan aku menikmati perjuanganku menuju Pulau Narajas dengan jalan seperti ini. Hujan ini bahkan membuatku menjadi seorang pembohog, aku menutupi air mataku dengan air hujan, aku berpura-pura tidak menangis padahal bisa jadi air mataku lebih deras dari pada air hujan yang sedang turun. Biarkan kupuaskan diriku menangis sampai aku lega, aku menangis bukan semata-mata karena video dari Kardoza, tapi aku menangisi keadaanku yang tertahan di tempat ini dan tidak beranjak kemanapun. Dan aku pun diam dalam hujan…
Aku kembali berjalan menuju ruang tunggu, kali ini langkahku sangat lambat dan tertatih, diriku letih, hatiku letih pikirku letih, perasaanku letih, aku letih…
Aku duduk, kembali menunggu, dan menunggu… Menunggu pesawat yang membawaku pergi ke Narajas… 

Wednesday, December 2, 2009

(Bukan) Bersedih



Mungkin aku sedang ingin sendiri, sendiri, dan sendiri
Karena dalam sendiri aku bebas menjadi diriku
Aku tidak perlu memaksakan diri pada sesuatu yang tidak aku sukai
Berjalan pada sebuah keinginan yang biasa saja
Tak sedikitpun mata ini harus kelelahan menatap warna warni dan kelap kelip dunia
Tak sedikitpun telinga ini harus kesakitan karena hingar bingar dunia
Aku hanya menikmati diriku dalam diam dan sendiri
Sendiri dan diam
Memaku diri pada satu sudut
Satu ruang imajinasi yang penuh cita-cita
Kadang menunduk kadang tengadah
Kadang kubiarkan saja pandanganku terlepas jauh tanpa arah
Mungkin tak lama
Tapi aku akan mengulangnya satu ketika...

Tuesday, December 1, 2009

1000 Years



Moment, you came to my heart just by chance
To me you don't seem to be a stranger
It was so long for you to finally find me

For 1000 years I’ve been waiting for you
More than million tears fall in eternal love
Remember forevermore,
We will stand for 1000 years

Sometimes i know it will not be easy with you
Until then i will pray for our true love
Don't ever forget, my love
We will be together

For 1000 years I’ve been waiting for you
More than million tears fall in eternal love
Remember forevermore,
We will stand for 1000 years

Don't say i don't want to hear you say good bye
Please promise me you will always be my love, my love

For 1000 years I’ve been waiting for you
More than million tears fall in eternal love
Remember forevermore,
We will stand for 1000 years

By: Kang Eun Soo