Sunday, December 27, 2009

You're Only Lonely By JD Souther





When the world is ready to fall
On your little shoulders 
And when you're feeling lonely and small
You need somebody there to hold you
You can call out my name
When you're only lonely
Now, don't you ever be ashamed
You're only lonely

When you need somebody aroud
On the nights that try you
(remember) i was there when you were a queenH
And i'll be the last one there beside you
So you can call out my name
When you're only lonely
Now, don't you ever be ashamed
You're only lonely


When the world is ready to fall
On your little shoulders 
And when you're feeling lonely and small
You need somebody there to hold you
So don't you ever be ashamed
You're only lonely
Ah, you can call out my name
When you're only lonely

When you're only lonely

Ah, it's no crime darling
We've got lots of time

Ah, there's nothing wrong with you
Darling, i get lonely too

So if you need me
All you gotta do is call me
You're only lonely

Diam




Oh God, apa ini???!! Aku terdiam karena dunia mendiamkanku tanpa alasan yang jelas. Salahkah aku jika kemudian bersangka-sangka atas kelakuan dunia terhadapku? Tentu, ini menjadi sebuah kewajaran pikirku… Aku ada dalam ketiadaan dalam pandangan mata dunia yang silau dengan desas desus keunggulan yang khawatir tersingkirkan. Aku tidak pernah sedikitpun berpikir untuk mengusik dunia di sekitarku. Jika memang tidak berkenan dengan keberadaanku, ya sudah, aku akan mengalah dalam diam, aku akan diam di sudut ruangku, biarkan saja sendiri tanpa dunia-dunia yang penuh dengan dinamika...

Monday, December 14, 2009

Pulau Narajas




Aku masih duduk di sini, sendiri, seperti waktu-waktu sebelumnya. Aku memandangi orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku dengan tatapan tak bernyawa. Semua orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku menghela nafas panjangku, kuambil lagi secarik kertas dari dalam ranselku. Ada namaku di sana, ada sederet angka di sana, aku memandanginya lekat-lekat, terus dan terus kupandangi. Ini merupakan bukti yang harus aku tunjukkan saat aku pergi nanti. Kalau kuingat-ingat, perjuanganku untuk memperoleh secarik kertas itu tidaklah mudah, aku butuh waktu bertahun-tahun untuk memperolehnya, melewati serangkaian proses yang cukp panjang, tidak hanya membosankan tapi juga melelahkan. Kini, saat aku telah memperolehnya, ternyata tidak cukup mudah untuk menunjukkan secarik kertas itu sebagai suatu bukti, sebagai sesuatu yang dapat membuatku meninggalkan tempat ini, karena ini adalah sebuah persinggahan yang sejatinya hanya untuk waktu yang sangat sebentar disinggahi. Tapi tidak dengan aku, aku terlalu lama singgah di tempat ini. Aku malah tampak seperti penghuni tempat persinggahan ini. Aku telah melewatkan ratusan malam di tempat ini. Bukan waktu yang sebentar, bahkan terkadang aku ingin lari dan pergi saja dari tempat ini, tak mengapa kalau aku tidak jadi pergi ke Pulau Narajas yang diimpikan banyak orang selama ini, tak apa pikirku, karena dulu pun, ketika aku mulai mengurus keberangkatanku menuju pulau itu, bukan semata-mata keinginanku, keluargakulah yang mendorongku untuk pergi ke pulau itu. Kalau saja saudara perempuanku yang memintanya mungkin aku bisa menolaknya dengan mudah, tapi tidak dengan ibuku, perempuan yang berjuang mengorbankan seluruh hidup untuk anak-anaknya termasuk aku, aku tidak bisa menolaknya. Apalagi, diantara tiga bersaudara, hanya aku si bungsu yang mendapat kesempatan untuk pergi ke pulau itu, bahkan ketika aku pernah meminta untuk tidak kembali ke rumah setelah tiba di Pulau Narajas nanti, ibu mengabulkannya meski dengan sedikit berat hati. Aku mengatakan kalau aku ingin melanjutkan perjalanan menuju pulau lainnya, yaitu Pulau Semtar. Tapi Pulau Semtar tak menjadi prioritasku saat ini, aku hanya ingin tiba di Pulau Narajas dulu saja…
“Hei, apa yang sedang kau lakukan di sini?” seorang perempuan yang tampak lebih muda dariku datang menghampiri.
“Aku sedang menunggu pesawatku.” Aku menjawab sambil menoleh ke arah perempuan itu
“Sudah berapa lama kau menunggu di sini?”
“Sudah cukup lama, aku tidak ingat lagi kapan tepatnya”
“Bukankah kau adalah gadis yang mengurus keperluan perjalanan menuju Pulau Narajas beberapa waktu yang lalu?”
“Ya, kau tahu aku?”
“Tidak, aku tidak tahu. Aku hanya pernah tidak sengaja melihatmu ketika aku hendak menuju Pulau Narajas, sama sepertimu.”
Aku mengernyitkan dahiku… “Kalau memang kau juga mengurus keberangkatan menuju Pulau Narajas bersama denganku waktu itu, mengapa kau datang dari arah yang berlawanan denganku?”
“Aku telah kembali dari Pulau Narajas dan kini aku sedang mengurus keberangkatanku menuju ke Pulau Semtar”
Aku tercengang mendengar ucapan perempuan itu. Kami bahkan dalam waktu yang berdekatan mengurus keberangkatan menuju Pulau Narajas tapi kini ia telah kembali dan akan menuju Pulau Semtar, pulau yang juga mungkin akan menjadi tujuanku berikutnya setelah Pulau Narajas. Sementara aku? Aku masih sama di tempatku yang dulu, aku terjebak di bandara ini. Aku bisa saja keluar pikirku tapi itu tidak mungkin, yang paling memungkinkan adalah berharap bahwa pesawatku akan segera datang dan membawaku pergi menuju Pulau Narajas.
“Hei, apa kau sedang melamun nona?”
“Ah, tidak. Aku hanya… Ya, hanya sedang berpikir.” aku menjawab sembari menutupi keterkejutanku karena aku sedang bermain dengan pikiranku sendiri saat itu.
“Aku permisi nona, aku hanya tidak sengaja melewati tempat ini untuk mengambil tiket yang sudah kupesan. Ruang tungguku ada di sebelah sana, kau juga akan menunggu di sana jika suatu hari kau akan menuju Pulau Semtar.”
Perempuan itu berlalu dari hadapanku dan menuju ruang tunggunya. Ah, ia bahkan telah menuju Pulau Semtar saat ini padahal ia sepertinya setahu lebih muda dariku. Ya, aku dapat melihatnya.
“Hei, kita belum berkenalan nona. Aku Dendranamiazy Lanela.” Perempuan itu menyebutkan namanya sembari mengulurkan tangannya di hadapanku
“Aku Fatitabia Adoficansy” jawabku sambil menjabat tangan perempuan itu.
“Aku pergi dulu nona Adoficansy, mungkin pesawatku sebentar lagi datang. Semoga pesawatmu juga segera datang.”
Perempuan itu berlalu dari hadapanku, aku tersenyum sembari melambaikan tanganku. Ah, sedih sekali rasanya kalau aku harus membandingkan diriku dengan dirinya. Bahkan Pulau Narajaspun belum kuinjak sampai hari ini. Aku sengaja tidak bertanya kepada perempuan itu bagaimana rasanya berada di Pulau Narajas. Ah, tidak perlu pikirku. Aku bahkan bisa melihatnya dengan mudah pada layar yang ada di sekitar ruang tunggu ini. Ya, aku bisa melihatnya seperti sedang menonton televisi di rumahku sendiri. Aku bisa melihat pakaian yang dikenakan di pulau itu, pakaian khusus yang diwajibkan bagi siapapun yang berada di sana. Ah, merepotkan sekali pikirku. pakaian menjuntai dengan harga yang tidak murah terpaksa harus dikenakan, entah apa maksudnya aku pun tak tahu, entah siapa yang menjadi pendahulu dan menyepakati pakaian seperti itu yang harus dikenakan. Tak ada bedanya laki-laki ataupun perempuan, semua dikenai aturan yang sama. Bisa saja setiap orang memiliki gaya berpakaian mereka masing-masing dari tempat asal, tapi di Pulau Narajas, semua disamakan. Belum lagi ditambah dengan upacara yang memakan waktu hampir dua pertiga dari waktu yang diberikan selama di Pulau Narajas, entahlah apa itu upacara penyambutan atau upacara penghormatan aku pun tak tahu. Aku bahkan tidak menyukai itu semua tapi entah mengapa aku ingin sekali ke pulai itu. Entahlah, aku merasa aku sudah lebih dari separuh jalan menuju pulau itu, dan pasti akan sangat disayangkan kalau aku sampai mengurungkan niat untuk menuju pulau itu.
Aku kembali beranjak dari tempat dudukku, aku mulai bosan, aku ingin sedikit berjalan-jalan di sekitar bandara ini untuk melepas kejenuhanku. Aku mulai berjalan dan melihat dunia sekelilingku. Ah, aku sudah hafal benar dengan tempat ini. Bahkan mungkin jika aku diminta untuk mengelilinginya dengan mata tertutup dan tanpa tongkat, aku akan mampu melakukannya. Aku melepaskan pandanganku sembari menghela nafas panjang, hatiku seperti berdenting menghitung waktu, samapai kapan aku akan berada di tempat persinggahan ini? Kenapa singgah menjadi sesuatu yang sangat lama bagiku? Mungkin aku harus bersabar lagi dan lagi…
Lamunanku tiba-tiba saja buyar, ponselku berdering rupanya. ah, ibuku yang memanggil.
“Ya, ibu. Ini aku puterimu.”
“Apa kabarmu puteriku?”
“Aku baik ibu, ibu sendiri bagaimana?”
“Ibu juga baik.”
“Ada apa tiba-tiba ibu meneleponku?”
“Ah, tidak. Aku hanya ingin menanyakan keadaanmu puteriku”
            “Oh…”
            Aku seidikit lega saat ibu tidak mempertanyakan keberadaanku, ia tidak tahu kalau aku masih ada di tempat yang sama karena pesawat yang akan membawaku belum juga tiba. Tapi tidak kemudian…
            “Puteriku, bagaimana perjalananmu? Kapan tepatnya kau akan tiba di Pulau Narajas?”
            Aku seketika terdiam. Aku menitikkan air mataku, aku menarik nafas lebih panjang agar ibuku tidak tahu kalau aku sedang menangis di sini…
            “Aku tidak tahu ibu…”
            “Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Bukankah kau memegang jadwal penerbangan pada tiket yang ada padamu?”
            “Tidak ibu. Aku benar-benar tidak tahu. Segalanya dapat dengan mudah berubah. Dan itu di luar kekuasaanku. Aku bahkan telah bosan berada di tempat yang sama beratus-ratus malam lamanya. Kalau aku boleh meminta, aku ingin pulang ibu. Aku ingin kembali ke rumah, tempat aku merasa hidup tenang tanpa gundah”
            Ibuku hanya terdiam mendengar kata-kataku…
            “Ibu, aku sedang dalam kondisi tidak enak hati dan tidak enak pikiran di tempat yang begitu membosankan ini. Dengan ibu menanyakan hal seperti ini padaku, ibu telah menambah pikiran di kepalaku, kepalaku seperti akan pecah.”
            “Tidak puteriku, ibu tidak bermaksud seperti itu. Jangan terlalu kau pikirkan kata-kata ibu tentang Pulau Narajas.”
            “Tapi ibu, kau telah menanyakannya padaku. Aku tidak bisa menganggap seolah-olah kata-kata ibu tidak pernah ada, sudah terlanjur ibu, aku tidak bisa.”
            “Dengarkan ibu puteriku, aku tidak pernah ingin membebanimu dengan pikiran yang bertambah-tambah. Ibu mungkin tidak pernah tahu kalau bebanmu terlalu berat di sana, ibu tidak pernah pergi ke Pulau Narajas puteriku. Bahkan diantara ketiga puteri yang kumiliki, hanya kaulah yang akan berangkat menuju pulau itu.”
            “Tapi kau telah mengatakannya ibu…”
            “Sudah puteriku, sudahlah Fatitabia Adoficansy…”
            Aku terdiam dan mengakhiri percakapanku dengan ibuku. Aku kembali menghela nafas panjangku. Aku semakin merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Mungkin memang ibu tidak bermaksud membebaniku dengan mempertanyakan perjalananku menuju Pulau Narajas yang tak kunjung usai. Wajar kalau ibuku mempertanyakannya, sangat wajar. Ibuku hanya ingin mengetahui kabarku, keadaanku, dan karena aku sedang menempuh perjalanan menuju Pulau Narajas maka ibuku bertanya sudah sampai diaman perjalananku dan kapan aku akan tiba di pulau itu. Tidak ada yang salah, dan kau tidak salah ibu. Mungkin aku yang terlalu sensitif ketika disinggung mengenai Pulau Narajas, pulau yang tak kunjung aku pijak sampai hari ini…
            Aku melangkah menuju ruang tunggu, kembali menatap tempat yang sudah kuhuni dalam waktu yang tidak sebentar, ratusan malam kuhabiskan di tempat itu, tempat yang kupikir nyaman dan kini telah membuatku bosan karena telah terlalu lama berada di dalamnya.
Dalam kekosongan tatapan, mataku menangkap sesuatu di papan pengumuman elektronik yang ada di hadapanku. Ah, aku mendapat pesan rupanya. Pesan yang disampaikan seorang teman yang juga menuju Pulau Narajas dan kini ia sedang berada di tempat transit yang pertama.
“Hei, Fatitabia Adoficansy! Mengapa kau masih berdiam diri di tempat yang sama? Lihat aku, Ondramartofo Kardoza, aku telah sampai pada tempat transit yang pertama. Apa kau merasa nyaman berlama-lama di tempat itu? Ayo, cepat kau susul aku!”
Aku benar-benar kaget mendapatkan pesan dalam bentuk video dari seorang teman. Perasaanku bercampur saat itu. Mungkin bagi orang lain apa yang dilakukan Kardoza dalah sesuatu yang dapat membangkitkan semangat untuk segera pergi meuju Pulau Narajas, tapi tidak bagiku. Aku bagai seorang yang hampir-hampir tidak kuat berdiri dengan kaki kecilku dan tiba-tiba dilempar batu yang tepat mengenai punggungku, aku limbung, keseimbangan tubuhku tak lagi terjaga. Aku jelas tidak suka dengan apa yang dilakukan Kardoza di hadapan banyak orang. Aku tidak tahu niat Kardoza yang sebenarnya, apakah ingin menyemangatiku atau memang ingin mempermalukanku di seluruh bandara ini. Yang jelas, aku semakin merasa terpuruk dalam penantian panjang yang melelahkan ini. Aku membenci Kardoza! Aku benci!
Aku berlari meninggalkan ruang tunggu, dadaku terasa begitu sesak. Di luar kulihat hujan turun deras, aku tidak peduli, aku menerjang hujan dan berlari. Mungkin aku seperti orang gila karena saat semua orang berdiam diri dan meneduh di dalam ruangan, aku malah keluar. Biar pikirku, mereka bukan aku, mereka tidak tahu apa yang aku rasakan, biarkan aku menikmati perjuanganku menuju Pulau Narajas dengan jalan seperti ini. Hujan ini bahkan membuatku menjadi seorang pembohog, aku menutupi air mataku dengan air hujan, aku berpura-pura tidak menangis padahal bisa jadi air mataku lebih deras dari pada air hujan yang sedang turun. Biarkan kupuaskan diriku menangis sampai aku lega, aku menangis bukan semata-mata karena video dari Kardoza, tapi aku menangisi keadaanku yang tertahan di tempat ini dan tidak beranjak kemanapun. Dan aku pun diam dalam hujan…
Aku kembali berjalan menuju ruang tunggu, kali ini langkahku sangat lambat dan tertatih, diriku letih, hatiku letih pikirku letih, perasaanku letih, aku letih…
Aku duduk, kembali menunggu, dan menunggu… Menunggu pesawat yang membawaku pergi ke Narajas… 

Wednesday, December 2, 2009

(Bukan) Bersedih



Mungkin aku sedang ingin sendiri, sendiri, dan sendiri
Karena dalam sendiri aku bebas menjadi diriku
Aku tidak perlu memaksakan diri pada sesuatu yang tidak aku sukai
Berjalan pada sebuah keinginan yang biasa saja
Tak sedikitpun mata ini harus kelelahan menatap warna warni dan kelap kelip dunia
Tak sedikitpun telinga ini harus kesakitan karena hingar bingar dunia
Aku hanya menikmati diriku dalam diam dan sendiri
Sendiri dan diam
Memaku diri pada satu sudut
Satu ruang imajinasi yang penuh cita-cita
Kadang menunduk kadang tengadah
Kadang kubiarkan saja pandanganku terlepas jauh tanpa arah
Mungkin tak lama
Tapi aku akan mengulangnya satu ketika...

Tuesday, December 1, 2009

1000 Years



Moment, you came to my heart just by chance
To me you don't seem to be a stranger
It was so long for you to finally find me

For 1000 years I’ve been waiting for you
More than million tears fall in eternal love
Remember forevermore,
We will stand for 1000 years

Sometimes i know it will not be easy with you
Until then i will pray for our true love
Don't ever forget, my love
We will be together

For 1000 years I’ve been waiting for you
More than million tears fall in eternal love
Remember forevermore,
We will stand for 1000 years

Don't say i don't want to hear you say good bye
Please promise me you will always be my love, my love

For 1000 years I’ve been waiting for you
More than million tears fall in eternal love
Remember forevermore,
We will stand for 1000 years

By: Kang Eun Soo

Thursday, November 26, 2009

Geregetan


Ni bapak2 ya, gw ga bisa kasih komen lagi dah buat mereka, apalagi yang pake kacamata, aksi panggungnya bikin gw kagak ngedip, bikin gw nunda aktivitas gw kalo mereka nongo di tv! Ampun dah!! The Dance Company emang TOP BGT!!!!

Monday, November 23, 2009

Pincang




Aku sudah tidak kuat lagi rasanya, aku letih, telah berulang kali aku menuruti permintaannya, tapi selalu saja salah dan kurang di matanya. Entah dimana salahku aku pun bahkan tidak pernah tahu. Aku hanya ingin karyaku sedikit dihargai, mungkin karyaku tidak sekelas dengan karya para maestro yang telah diakui di kelasnya tapi setidaknya beri aku sedikit celah dan beri aku sedikit saja jalan untuk merampungkan ini semua sebelum tertolak lagi dan lagi. Bahkan aku merasa enggan menghadapi hari, aku merasa bahwa aku akan mengalami hal yang sama, satu langkah majuku didorong ke belakang, aku masih di tempat yang sama sejak ratusan hari yang lalu. Hampir2 aku menyerah dan berpaling tapi aku tidak bisa, langkahku telah ditentukan di tempat itu, tempat yang ditakdirkan untukku. Tempat yang sebelumnya sangat2 tidak aku inginkan sama sekali malah kini menjadi jalanku. Aku berontak di awal tapi akhirnya berhenti meronta karena keletihan dan usahaku tidak mampu megubah semuanya. Aku harus tetap di sini. Aku berusaha ikhlas dengan apa yang menimpa diriku, aku akan menempuhnya kataku, meskipun aku tahu ini tidak mudah. Bukan sekali dua kali aku bercucuran air mata karenanya, aku menahan sakit, perih, dan darah duka yang mengalir membanjiri tempatku berdiri. Tak apa jika langkahku terasa berat pikirku, asalkan aku tetap mengayuh. Tapi apa yang terjadi? Kaki kananku selalu tertahan, seperti terikat seutas tali dan aku tidak bisa melepaskan tali itu, terlalu kuat mencengkram, aku tidak bisa bergerak. Luka di kakiku semakin hari bahkan semakin bertambah, goresan2 tali yang menjerat tampak nyata karena aku terlalu sering melepasnya dengan paksa, aku menarik2 kakiku terus menerus. Aku mencoba melepas tautannya tapi tak bisa, bahkan ketika tali itu kupotong denga pisau, tetap saja tidak bisa, tali itu masih kokoh melingkar di kaki kananku. Lalu aku harus bagaimana? Apa aku harus memotong kakiku saja agar aku bisa lepas dan pergi? Lalu, bagaimana aku akan berjalan bahkan berlari nanti jika aku hanya punya satu kaki saja?

Saturday, November 21, 2009

Crazy Thing

Pengen banget rasanya nonjok!!!!!!!!!!

Friday, November 20, 2009

Hancur




Entahlah, perasaanku sedang membuncah2 pada seseorang yang kini hampir menjadi milik orang lain. Jujur, terkadang aku merasa “salah” dan “kalah” dengan hal ini. Sedikit aneh dan konyol mungkin tapi itulah aku, rasanya kejadian ini begitu dekat beririsan dengan kesempatan yang mungkin saja aku miliki. Sedikit menyesal, ya, aku mengakuinya. Aku baru saja menyadari sesuatu, kalau beberapa waktu yang lalu mungkin dia tidak sedang mengisi hatinya dengan siapapun...

Thursday, November 19, 2009

Thursday, November 12, 2009

My Favourite


Nonton ribuan kali pun bikin gw ga bosen, tetep ngakak!!! ahahahahaha!!!

Tuesday, November 10, 2009

Samar (ada)





Aku tak terlihat dari kejauhan, tak tampak dalam pandangan yag tak begitu jauh dan aku ternyata memang tidak ada bagi sebagian orang. Tak apa pikirku, mungkin di belahan bumi lain masih ada beberapa orang atau mungkin hanya satu orang yang melihatku di sini. Aku tak butuh pengakuan dari manusia jenis apapun, aku hanya ingin hidup dan menjalani kehidupanku tanpa paksaan, aku ingin menjalaninya dengan caraku sendiri, dengan ukuran kebahagiaan yang aku tentukan, yang aku putuskan. Entah dari mana aku merujuk tak seorang pun harus tahu, asal aku tahu…

Monday, November 2, 2009

Hate


Won't say anything, just wanna say that i hate you so much!!! Thank you!

Sunday, November 1, 2009

The Class


Tell me that it's not easy en very hard for being a teacher...
Two thumbs up for Mr. Marin and all the teachers in the world! I give a high appreciation to you all!!!

Tuesday, October 27, 2009

Bukan Bohong

Aku terjatuh lagi dan lagi, entah sudah yang keberapa kalinya dalam perjalananku. Aku menyunggingkan senyum palsu yang kuulang, kuperlihatkan pada dunia di sekelilingku, semua meneriakiku dengan sebutan pembohong. Pohon bilang aku berbohong, langit bilang aku berbohong, kupu-kupu pun berkata aku sedang berbohong. Tidak kataku, ini bukan sebuah kebohongan, aku sedang berusaha megangkat diriku sendiri yang terperosok ke jurang yang kelam, aku tidak pernah mengatakan akalau aku tidak terperosok, aku hanya ingin mengatakan pada diriku sendiri kalau aku akan baik2 saja, dan aku bisa kembali naik ke atas dengan kedua tangan dan kakiku ini…

Friday, October 23, 2009

Tanda Tanya


Apa kata mereka tentangku?
Tiada yang bicara
Tiada yang menjawab
Bintang hanya berkelip
Bulan hanya mengintip dengan sebagian kecil tubuhnya
Langit hanya diam
Awan beranjak pergi
Mentari menyengatku
Dan ombak, menghempasku
Hingga aku terdampar di sini
Sendiri, dan dalam tanda tanya…

Thursday, October 22, 2009

Kucing (lagi)


Kata2nya begitu tajam dan langsung menembus jantungku, aku seketika tertohok dan hampir mati karenanya. Aku menangis menumpahkan air mata duka karena habis sudah upaya menghalaunya. Aku hanya bagaikan seekor kucing yang berhadapan dengan macan, kucing yang tidak bisa apa2, kucing kecil bodoh yang ingin tinggal di hutan yang penuh tantangan. Dan kucing kecil itu ternyata salah, ia memasuki dunia yang salah. Kucing kecil yang hanya bisa berlenggak lenggok dengan keempat kakinya.
“Wahai kucing kecil yang bodoh, apa yang kau lakukan di sini? Lihatlah dirimu, kau hanya menjilati tubuhmu sendiri dan mengibas2kan ekormu sepanjang waktu. Duniamu bukan di sini, kau bahkan hanya seekor kucing kecil yg merepotkan.”
Mungkin benar, tidak ada hal yang bisa kulakukan selain merepotkan orang lain, bahkan mungkin keberadaanku sama sekali tidak pernah diinginkan oleh orang-orang di sekitarku, bahkan mungkin enggan melihatku. Ah, sudahlah… Aku semakin tidak mengerti apa arti semua ini. Meskipun aku tau betul bahwa tidak ada satu makhluk pun yang sempurna di dunia ini, tapi dengan kata2nya, seolah hanya akulah manusia yang tidak sempurna di dunia ini, akulah sang manusia tidak berguna, akulah sang manusia bodoh yang hanya menunggu tercabutnya nyawa karena telah habis waktuku di dunia. Tak ada artinya aku menumpahkan air mata, tak seorangpun yang mampu melihatnya bahkan ketika air mata itu jelas telah mengguyur tubuhku sampai basah, tak ada yg melihatnya sebagai satu duka. Hanya terlihat sebagai satu keadaan yang sepertinya sudah menjadi ketentuan. Aku hanya menerima olok-olok dan cercaan orang lain atas diriku dan bodohnya aku selalu membiarkan itu terjadi dengan alasan tidak ingin menyakiti perasaan orang lain dan mengorbankan perasaanku sendiri. Lantas, kenapa orang lain begitu mudahnya meluluhlantakkan perasaan dan hatiku di saat aku begitu berhati-hati dengan ucapan dan sikapku yg aku khawatirkan menyinggung dan menyakiti orang lain…

Wednesday, October 21, 2009

Arahan


Awan terjatuh langit terbelah
Mengejutkan pandangan yang menunduk menembus bumi
Mataku bertingkah liar
Berlari kesana dan kemari
Aku menangkap sesuatu
Sebuah senyuman di balik awan
Sebuah tawa yang disembunyikan langit
Pikirku berjalan mengganti arah
Ingin mengejar dan meraih
Kuperintah langkah berhenti
Diam sejenak dan berjalan lagi
Bergegas dalam ayunan pasti
Aku datang menjemput mimpi…

Tuesday, October 20, 2009

Biarkan Aku


Sama seperti sebuah motor tua yang tak berlampu, hanya aku dan Tuhanku yang tahu kemana aku akan berbelok. Tak ada yang pernah tahu bahkan orang yang mengklaim dirinya paling dekat denganku sekalipun. Perempuan yang sangat mudah berubah ini hanya mengayun langkah kemana kakinya mau. Perempuan ini selalu tuli dengan hingar bingar manusia-manusia yang seringkali tidak memahami diri mereka sendiri dan meneriakkan suara lantang terhadap orang lain, termasuk aku. Aku tuli, kataku dalam hati… Tapi aku tidak buta, aku tetap melihat hiruk pikuk itu dengan kedua mataku yang terkadang kabur dan samar memadang kenyataan yang terjadi. Aku tidak suka dan tidak pernah suka digugah, aku bisa menemukan jalanku sendiri, dari sini, dari tempatku merenung dan berpikir tentang hidup. Abaikan saja semua langkah dan gerakan yang kulakukan, tak usah ikuti gerak geriknya karena mata siapapun akan keletihan mengikuti liuk-liuknya yang tak berirama, liukan bebas dengan gerak lambat tapi kadang melesat cepat bagai kilat lalu menghilang dan tak terlihat. Dan aku tak pernah menghendaki jika mata-mata itu memandangku curiga, aku tak pernah ingin tampak dan kalaupun tampak, biarkan saja, anggap saja tak tampak. Jangan pernah memintaku untuk bersembunyi dan enyah menghilang karena tidak menyukai keberadaan dan ketidakjelasanku, inilah aku, yang terpaksa diketahui, entah kebetulan atau tidak…

Monday, October 19, 2009

Sampai Akhir Waktu


Seorang teman pernah berkata: “Ibaratnya, dia itu adalah seorang anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa”. Kalau dipikir2, apa yang dikatakan oleh seorang teman mungkin benar adanya. Ah, aku benar2 bingung menghadapinya, aku tidak tahu apa yang menjadi keinginannya selama ini. Pernah, satu atau dua kali ia menyampaikannya padaku, tapi saat itu aku benar2 tidak sedang menyadarinya. Aku sedang berada di dunia yang lain saat itu. Kini, ketika aku menghampirinya dalam dunia yang aku sadari, hanya kebisuan yang aku dapatkan, sungguh membingungkan, tak pernah aku mengerti sampai hari ini. Jawaban inikah yang benar2 aku nantikan selama ini pun aku tidak tahu. Aku hanya tersesat dalam kebingungan yang aku ciptakan sendiri, beribu2 hari lamanya. Ingin rasanya menyudahinya tapi bukanlah suatu hal yang mudah untukku. Terlalu berat bagi seseorang seperti aku untuk mengakhiri sesuatu yang kupikir tak akan berakhir tanpa andil Tuhanku. Aku sendiri? Tidak mungkin rasanya, bahkan ketika tak ada satu makhluk pun di bumi yang mendukungku, aku masih tetap bisa bertahan dengan keadaan ini. Sebenarnya, aku tidak pernah merasa nyaman seperti ini tapi aku juga tak ingin bermigrasi ke keadaan lain yang aku sendiri pun tak mampu untuk menebaknya. Kupikir berbagai kemungkinan di depan mampu menghancurkan aku dalam seketika. Dan aku tidak pernah mampu membayangkannya dalam benakku, sekalipun. Kebisuannya menjadi derita sekaligus bahagia untukku, dengan begitu, aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya bermain dengan pikiranku sendiri. Sulit sekali rasanya menemukan satu saja isyarat yang dapat menghentikan semua ini. Atau aku hentikan saja pikiranku yang selalu berlari kian kemari agar rasanya tetap sama, tidak berubah karena apapun, bahkan dalam hitungan waktu yang tidak sebentar. Tak akan pernah kuakhiri sampai ujung waktu yang telah ditentukan untukku.

Friday, October 16, 2009

Bukan Kucing Biasa

Boleh percaya atau tidak, aku masih menyimpannya sampai hari ini. Tentu saja di tempat yang tak seorang pun tahu kecuali Tuhanku. Aku sering tersenyum sendiri karenanya, bukan milikku tapi bukan milik siapa2 juga saat ini, jadi aku menyimpannya sampai ada orang yang mengambilnya suatu hari nanti. Entah mengapa menyimpannya menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untukku. Aku tidak pernah mau membuangnya, inginnya aku berjanji tetap menyimpannya sampai pemiliknya datang dan mengambilnya untuk selamanya. Walaupun aku tahu jika saat itu datang akan menjadi saat yang tak terlupakan untukku, mungkin aku akan menangis sejadi2nya, seharian penuh. Mungkin terlihat seperti anak kecil yang kucing kesayangannya dirampas, upz bukan dirampas tapi diambil. Bayangkan, kucing itu sudah bersamanya bertahun2, ia tidak sengaja menemukannya saat sedang asyik bermain seorang diri. Kucing itu selalu saja menghampiri saat ia sedang seorang diri. Sampai akhirnya, sang anak membawanya pulang, merawatnya, memeliharanya dan membawanya kemanapun ia pergi. Tak sedetik waktu dilalui tanpa sang kucing. Hingga akhirnya suatu hari seorang anak perempuan menghampirinya dan mengatakan bahwa kucing itu adalah miliknya yang telah lama hilang dan ia cari kesana kemari. Tentu saja, walaupun berat ia harus menyerahkannya kepada pemiliknya. Aku sudah sering membayangkan hal itu, sedih rasanya tapi mau bagaimana lagi. Ingin rasanya aku bertanya, tapi tak mungkin apa yang kusimpan saat ini memberitahukan jawabannya. Ia hanya terdiam di sudut sana, diam, diam, dan diam. Jika saja ia bisa bicara apakah ia akan memilihku untuk jadi pemiliknya? Sayang, ia tak mungkin berkata. Mungkin pemiliknyalah yang akan menyampaikannya padaku. Tapi, tentu saja pemiliknya akan berkata kalau dialah yang pantas memilikinya. Oh, hancurnya aku. Bagaimana kalau aku tidak mengizinkan pemiliknya untuk mengambilnya? Ah, rasanya tidak mungkin, kurasa seluruh dunia akan mencemoohku dengan sebutan yang mungkin pantas untukku tapi mengiris hati dan menyayat jantung. Lalu, apa yang harusnya aku lakukan? Membiarkannya pergi menemukan pemiliknya saja? Sudahlah, ada pertemuan berarti ada perpisahan. Sepertinya sejak saat ini aku harus mulai belajar melupakannya sedikit demi sedikit, supaya jika saatnya tiba aku telah siap dan terbiasa tanpanya coz life must go on and that’s the way things are…

Thursday, October 15, 2009

Prajurit Dalam Tanda Tanya

Keliru aku tiba pada suatu tempat, pertempuran itu sudah tak ada lagi, perang itu sudah reda. Bahkan puing reruntuhan bangunan yg hancur akibat adu senjata tak lagi ada. Sudah bersih dan tak berbekas. Lalu, apa yg akan aku lakukan di tempat ini? Bukankah aku telah bersiap2 berperang dengan baju besi dan pedang yg sudah aku sandang sejak mencium tangan ibuku dan meminta izinnya untuk berperang? Sesaat aku terpaku memandangi sekelilingku, aku mendapati berita dari seorang kawan kalau pertempuran tadi telah dimenangkan oleh pasukan kami, aku menyunggingkan senyumku sebagai tanda terima kabar gembira. Tapi aku masih menyesali ketidakikutsertaanku pada pertempuran itu, aku bagaikan prajurit yg bergelar pahlawan tanpa pernah ikut berperang. Bahkan pedangku ini tak bersimbah darah, kulitku tanpa goresan, dan aku tidak mengeluarkan keringat sedikitpun… Aku terlambat, aku hadir pada saat yang bagiku tidak tepat, saat semuanya sudah berakhir. Aku menyesal, aku menyesali diriku sendiri… Inginnya aku ikut andil pada peperangan itu tapi nyatanya aku tidak bisa… Kini aku hanya bisa berjalan menghampiri prajurit lain yg tengah beristrahat setelah peperangan panjang. Mereka tampak keletihan, sementara aku, datang dengan wajah yg masih segar dan aroma wangi yg masih semerbak, pakaianku rapi dan tidak lusuh. Para prajurit telah bersiap untuk menghampiri keluarga mereka yg telah menanti kepulangan mereka, dan aku masih tak tau harus berbuat apa, apa aku harus ikut kembali ke negeriku dan bertingkah seolah aku ikut berperang dan memperoleh kemenangan? Mengotori pakaianku ini agar tampak lusuh dan berusaha membuat tubuhku menjadi bau anyir darah bercampur keringat perjuangan. Ah… aku tidak ingin pulang, aku malu pada diriku sendiri, tapi apa yg akan aku lakukan jika aku tidak ikut pulang? Apa aku harus menunggu sampai pada peperangan yg akan datang di tempat ini? Tidak… Itu perbuatan bodoh… Atau aku mencari medan peperangan lain saja? Tapi… aku bertempur untuk siapa? Siapa yg akan kubela? Siapa yg kuperjuangkan? Aku tidak tahu...

Wednesday, October 14, 2009

Gadis Sunyi

Ia adalah gadis sunyi
Aku menatapnya dari sini
Air matanya menjadi telaga yang kini ia arungi seorang diri
Ia berlayar seperti tanpa tepian
Mengarungi genangan duka sampai terdampar
Ia membisu meski tak bisu
Gurat-gurat wajahnya menyemburatkan kepedihan yang dalam
Rintihan dukanya merambat melalui desiran angin
Menghampiri telinga-telinga yang telah penuh sesak dengan suara-suara kacau dunia
Mengabarkan dukanya
Mengulang waktu, ia mengumpulkan tenaga
Membanjiri telaga duka yang telah mengering karena waktu
Ia tak mampu berjanji untuk berhenti dari duka ini
Karena ia adalah gadis sunyi...

Tuesday, October 13, 2009

My World

Menikmati sendiri dalam ruang pikirku, dalam ruang yang di dalamnya aku bebas, yang di dalamnya aku mampu menjadi lebih dari sekedar seorang aku, seorang aku yang jauh dari kata sempurna. Aku bisa meraih sesuatu yang bahkan bukan takdirku, sejenak meninggalkan kenyataan yang tidak sesederhana kelihatannya. Aku, aku dan hanya Tuhanku yang tahu karena tak seluruhnya aku tumpahkan pada manusia-manusia yang mengelilingiku. Satu kukabarkan dan sepuluh kusimpan, melekatkannya pada pikirku, aku kumpulkan hingga menjadi satu kumpulan perjalanan hidup yang terkemas berbeda dengan apa yang pernah terucap lisan. Bukan berdusta, hanya tak membuka seluruhnya pada siapapun...