Sunday, November 14, 2010

Tears


          Barusan, hampir selama satu jam aku dan ibu saling bertukar suara melalui ponsel. Perempuan itu, tak terhitung berapa banyak dan berat beban yang harus dipikulnya seumur hidup tapi ia bisa tetap sabar menjalani hidup. Segala beban ia pandang sebagai ladang amal meskipun ia bukan termasuk kalangan orang-orang yang menyebut diri sebagai orang shalih. Ia hanya perempuan biasa, berjalan mengarungi hidup yang tidak mudah bukan hanya bagi dirinya tapi bagi siapapun yang mengalaminya termasuk manusia terkuat sekalipun. Barusan, ia bercerita tentang apa yang sedang ia alami. Ya, aku tau betul kalau ia sama sekali tidak sedang mengeluh, ia sedang bercerita. Seperti seorang pendongeng yang sedang menceritakan sebuah kisah padahal jelas-jelas ia salah satu aktor di dalam cerita itu, aktor penting yang terbebani dengan masalah. Ia hebat, benar-benar hebat. Ia bahkan tidak sama sekali terlihat terbebani degan cerita yang jelas-jelas membuatku berurai air mata di ujung ponselku, ia tidak tau karena aku tidak mengeluarkan suara tangisku sedikitpun, aku bertingkah seolah akupun sama sepertinya, baik-baik dengan semua ceritanya. Jujur, aku tak lagi sanggup membendung air mataku. Perempuan ini terlalu luar biasa, aku adalah salah satu manusia paling beruntung karena dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang wanita yang luar biasa. Tapi aku melakukan satu tindakan bodoh, beberapa tahun yang lalu aku pergi menuntut ilmu ke pulau seberang, itu artinya aku harus meninggalkan ibu selama beberapa tahun. Dan aku masih berada di pulau seberang itu sampai hari ini, aku belum tuntas menuntut ilmu dan saat ini ibuku sedang didera masalah yang tidak gampang. Aku selalu berpikir andai saja aku dulu tidak pergi, andai saja aku dulu menuntut ilmu di tanah kelahiranku saja, mungkin saat ini ibu bisa berbagi denganku karena aku adalah satu-satunya anak yang paling mungkin berada ke sisinya. Kakak tertuaku sudah memiliki keluarga sendiri di pulau seberang, sementara kakakku yang kedua sudah diambil oleh pemiliknya beberapa tahun yang lalu. Akulah yang seharusnya berada di sisinya, menemaninya dalam keadaan yang tidak mudah seperti ini. Aku malah sempat berikir untuk melanjutkan pendidikanku setelah ini, sebelum peristiwa besar ini terjadi, meninggalkannya beberapa tahun lagi. Tapi semuanya harus kupikir kembali, rasanya aku lebih baik pulang, kembali ke sisi ibuku dan menemaninya sepanjang waktu. Aku tidak peduli tentang bagaimana aku nanti, melanjutkan pendidikan atau tidak tapi yang jelas aku harus berada di sisi perempuan itu, ibuku...

No comments:

Post a Comment